
CIREBON, SIJORIPOST.COM – Jelang pembacaan putusan terhadap Mahful Muis terdakwa 1, Abdusalam terdakwa 2 dan Andry Cahya atas dugaan melakukan penistaan agama dan permufaktan jahat pada Rabu 7 Maret 2017 mendatang. Yayasan Fahmina dan lembaga Ghurabah mengadakan dialog khusus terkait dengan misteri dibalik peristiwa yang melatar belakangi bergulirnya persidangan Eks Gafatar.
Dialog yang dilaksanankan di Kampus ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) Kota Cirebon, tersebut digagas langsung oleh ketua Yayasan Fahmina bapak Marzuki Wahid, dengan menghadirkan narasumber langsung korban dari tragedi Gafatar Muhad Yusra dan Yudi.
“Pertama kami ingin mengetahui lebih jauh dari sumber utama (Primer Source), bukan dari suber hasil penelusuran (treasure Source). Hal ini penting bagi kami ditengah maraknya berita Hoak dan pemelintiran isi pada berita”. Ujar Marzuki Wahid, selaku sekertaris umum lembaga pengkajian Islam Nahdatul Ulama.
Pada kesempatannya Ia menyampaikan tanggapan atas dialog yang dilaksanakan rabu (1 Maret 2017) lalu, Ia juga menyinggung jika dialog tersebut sebagai salah satu kegiatan pembelajar bagi mahasiswa ISIF Cirebon.
Dialog dengan judul menyikap misteri Gafatar dihadiri lebih dari 50 orang perwakilan dari mahasiswa, media kota Cirebon dan perwakilan masyarakat dari berbagai macam agama dan keyakinan.
Sebagai narasumber Yudi sempat menyampaikan pandangannya terhadap kasus yang terjadi dengan Gafatar. Menurtnya diskriminasi dan kriminalisasi yang terjadi kepada warga Eks Gafatar menjadi bukti ancaman kebhinekaan bangsa ini.
“Permasalahan yang dialami oleh Eks Gafatar seharusnya bukan menjadi permasalah warga Gafatar semata, namun ini menjadi permasalahan kita bersama terlebih kepada kaum marjinal dan minoritas untuk mendapatkan hak yang sama dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.” kata yudi.
Lajang berusia 34 tahun tersebut Menekankan jika putusan persidangan tidak berubah dan menjatuhkan hukuman kepada ke-tiga terdakwa, hal ini menjadi bukti lemahnya keadilan hukum, bagi kaum minoritas yang berprilaku damai. Ia juga menegaskan terkait jika sudah sepatasnya dukungan kebebasan kepada ketiga terdakwa diberikan oleh banyak pihak.
Senada dengan hal tersebut Muhamad Yusra yang hadir sebagai salah satu korban tragedi di Kalimantan, menyayangkan dengan kriminalisasi yang terjadi. Ia mengatakan jika dakwaan yang diberikan justru tidak sesuai karena apa yang dilakukan di Kalimantan murni hanya bertani.
Dirinya juga menceritakan tentang dampak kriminalisasi yang menimpanya.
“Kehilangan lahan pertanian seluas 43 Ha yang dibeli secara legal di Kalimantan tidak tau kejelasannya dan hingga saat ini kami masih menuntut pengembalian asset karena itu kami beli sendiri” katanya kepada Sijoripost.com, Kamis, (2/3/2017)
Peristiwa pemulangan secara paksa warga eks gafatar dari lahan pertaniannya diduga dikarenakan adanya desakan masyarakat berdasarkan pada isu yang dihembuskan oleh oknum-oknum yang sengaja untuk menimbulkan propaganda.
Bagi Marzuki peristiwa kriminalisasi dan diskriminasi tersebut menjadikan keprihatinan tersendiri dalam keberagaman dinegara ini. “Sangat disayangkan peritiwa pembakaran tersebut bisa terjadi, ditengah program pertanian yang tengah dijalankan” ujarnya.
Selain itu juga Ia mengatakan program yang dijalankan oleh teman-teman di kalimantan sangat luar biasa ketimbang yang dilakukan oleh transnasional dan sudah sepatutnya pemerintah sangat support.
Terkait dengan persidangan yang sedang berlangsung kepada Mahful Muis, Bapak Abdusalam dan Andry Cahya atas tuduh 12 tahun bagi terdakwa 1 dan 2 , 10 tahun bagi terdakwa 3 baginya sangat sukar untuk dipahami terlebih persidangan tersebut tidak begitu diketahui banyak orang.
“Persidangan tersebut seharusnya tidak patut dilaksanakan terlebih lagi didasari dengan dikeluarkannya SKB 3 menteri dan Fatwa MUI, harusnya lebih mengedepankan dialog”. Lanjut dosen IAIN Cirebon.
Persidangan putusan Eks Gafatar tetap akan dilaksankan pada Rabu mendatang, dengan mengenyampingkan fakta-fakta hasil persidangan yang tidak membuktikan adanya pelanggaran atas dugaan penodaan agama dan makar oleh ketiga petingginya di Pengadilan Negri Jakarta Timur. (nn)